3 hari kemudian, Nishida memberitahu kami pagi-pagi bahwa dia akan
memancing dewa setempat. Sekitar 30 orang akan ada disana untuk
menonton, karena sepertinya dia telah memberitahu teman-teman
pemancingnya soal ini.
“Ini sangat mengganggu. Asuna...apa yang harus kita lakukan?”
"Hm~mmm..."
Sejujurnya, kami tak begitu senang dengan ini. Kami harus kesini
untuk bersembunyi dari para penyebar isu dan penggemar Asuna, jadi kami
agak enggan kalau harus tampil di depan banyak orang.
“Bagaimana kalau begini?!”
Asuna mengumpulkan rambutnya dan mendorongnya ke atas. Lalu dia
menutupi wajahnya hingga mata dengan syal besar. Tak berhenti disitu,
dia memencet beberapa tombol di jendela menunya dan mengenakan jaket
panjang nan tawar.
“Y-yah, Baguslah. Kau terlihat seperti istri petani beneran."
“...Apa itu pujian?”
“Tentu saja. Kalau aku sih, mereka takkan mengenaliku selama aku tak memakai perlengkapan perang.”
Sebelum matahari terbit, aku berjalan keluar rumah dengan Asuna, yang
membawa keranjang piknik kami. Dia bisa saja memanggilnya keluar saat
kami tiba disana, tapi dia bersikeras ini bagian dari penyamaran.
Hari ini termasuk hangat, mengingat ini hari-hari awal musim
dingin. Setelah berjalan melalui hutan pinus raksasa selama beberapa
saat, kami akhirnya bisa melihat air yang berkilauan diantara
batang-batang pohon. Banyak orang yang sudah berkumpul disana. Begitu
aku menghampiri dengan segan-segan, seorang dengan figur badan yang
dikenal melambai pada kami sambil terbahak-bahak.
“Wa-ha-ha, senang rasanya kita dapat cuaca baik hari ini!”
“Hai, Nishida oji-san.” [1]
Aku dan Asuna menganggukkan kepala. Dia menceritakan pada kami
bahwa kumpulan orang-orang disini dari berbagai umur dan kelompok
adalah anggota dari guild memancing yang dijalankan Nishida. Kami
menyalami semuanya dengan tegang, tapi sepertinya tiada yang mengenali
Asuna.
Menyisihkan hal itu, Nishida ojiisan jauh lebih aktif dari yang
kubayangkan. Dia pasti seorang pemimpin kelompok yang baik dalam
perusahaannya. Suasananya sudah panas, karena mereka sudah mengadakan
lomba memancing sebelum kedatangan kami.
“Eh~jadi, Acara utama hari ini akhirnya dimulai!”
Nishida mengumumkannya keras-keras sambil berjalan menuju kami
dengan pancingan panjang di tangan, dan para penonton bersorak
kegirangan. Kulihat pancingan yang dibawanya. Mataku menelusuri
pancingan dengan pikiran kosong sebelum benda di ujungnya mengejutkanku,
Yang ada di ujungnya adalah kadal, dan ukurannya sangat besar.
Panjangnya selengan-atas orang dewasa. Kulit hitam-merahnya yang
terlihat beracun berkilat seakan menegaskan kesegarannya.
“Hiii,---“
Asuna bahkan menyadarinya lebih telat daripadaku, dan wajahnya
membeku sambil mundur beberapa langkah darinya. Jika ini umpannya, apa
yang akan kita berusaha tangkap pasti luar biasa.
Tapi sebelum aku sempat bertanya, Nisihida menghadap ke danau dan
mengangkat pancingannya. Dengan teriakan pendek,dia mengayunkannya
dengan gerakan yang bagus, dan kadal besar membentuk sebuah lengkungan
di udara sebelum jatuh ke air dengan jebyur yang keras.
Memancing tak perlu waktu tunggu dalam SAO. Begitu kau melempar
umpan ke air, entah ikan mengambil umpan dalam beberapa detik, atau kau
kehilangan umpan. Kami menelan ludah tanpa sadar saat menonton benang
tenggalam perlahan-lahan.
Setelah beberapa saat, pancingan bergerak-gerak. Tapi Nishida tak bergerak seinci pun.
“I-ia kena, Nishida-san!”
“Masih terlalu pagi!”
Di belakang kacamata Nishida, sepasang mata yang biasanya
mencerminkan kakek berhati hangat bercahaya. Nishida terus melihat ujung
pancingan yang bergerak-gerak tanpa bergerak sedikitpun. Lalu
pancingannya bergerak makin keras.
“Sekarang!”
Nishida menarik tubuh kecilnya mundur dan menarik pancingan
dengan seluruh badan. Aku Bisa mengatakan talinya benar-benar tegang
hanya dengan melihatnya, yang juga memberikan efek suara tang-tang.
“Ia mengambil baitnya! Aku percayakan sisanya padamu!”
Aku dengan hati-hati mengambil pancingan yang diserahkan Nishida,
tapi ia tak bergeser sedikitpun. Rasanya bagai kail termakan sesuatu
yang ditanam ke tanah. . Aku melihat balik pada Nishida, khawatir apa
benar ikannya sudah menggigit, lalu dalam sekejap mata—
Talinya mulai tertarik kedalam air dengan kuat secara tiba-tiba.
“Ahhh!”
Aku cepat-cepat menancapkan kaki ke tanah dan menariknya ke atas
lagi. Pengukur kekuatan-yang-dipakai dengan cepat menembus mode normal.
“A-apa baik-baik saja untuk menegangkannya?”
Tanyaku pada Nishida karena khawatir pada ketahanan pancingan.
“Ini kualitas tertinggi! Kau bisa menariknya sekuat yang kau mau!”
Nishida mengangguk, wajahnya sudah merah saking bergairahnya. Aku
membenarkan pegangan pada pancingan lalu menariknya sekuat tenaga.
Pancingannya bengkok di tengah dan membentuk U besar. Begitu tingkat
pemain naik, mereka bisa memilih untuk meningkatkan kekuatan atau
deksteritas.[2] Pengguna kapak seperti Agil akan meilih kekuatan, sementara pengguna rapier macam Asuna akan fokus pada deksteritas.
Meski aku seorang pengguna pedang biasa dan meningkatkan
keduanya, pilihan pribadiku cenderung memilih deksteritas sedikit di
atas kekuatan.
Tapi sepertinya aku memenangkan tarik tambang ini karena levelku
sendiri sudah sangat tinggi. Aku perlahan melangkah mundur, terus
memaksa si besar itu keluar air.
“Ah, Aku bisa melihatnya!!”
Asuna mencondongkan badan ke air dan menunjuknya. Aku tengah
melangkah mundur dan menjauh dari danau jadi aku tak bisa memeriksanya.
Para penonton makin ribut dan berebut untuk melihat ke air, yang dengan
cepat semakin dalam selepas pinggirnya. Aku tak bisa menahan
kepenasaranku dan memusatkan seluruh kekuatanku untuk menarik pancingan.
“...?”
Tiba-tiba, sesuatu mengejutkan seluruh penonton yang dari tadi mengerubungi air. Setiap orang mengambil beberapa langkah mundur.
“Ada yang salah...?”
Bahkan sebelum aku selesai berbicara, mereka berbalik dan kabur.
Bahkan Asuna dan Nishida berlari ke belakangku dari kedua sisi dengan
wajah pucat. Aku baru saja hendak berbalik kebelakang untuk melihat
mereka ketika – beban tanganku terangkat dan aku terjatuh dengan
punggung di bawah.
Ah, apa talinya putus!?
Tepat ketika aku berpikir begitu, aku membuang pancingan dan
berlari menuju danau, Saat itu, permukaan air yang berkilauan tiba-tiba
menggelembung naik,
“Eh-!?”
Aku terpaku di tempat dengan mata terbelabak, dan saat itulah kudengar suara Asuna dari kejauhan :
“Kiritooo—itu berbahaya---!!!”
Saat aku berbalik, kulihat Asuna, Nishida, dll sudah naik ke
tembok yang berdiri di ujung danau, yang cukup jauh dariku. Aku dapat
mendengar air bergebyur-gebyur liar dibelakangku dan aku akhirnya mulai
memahami keadaan. Lalu, dengan rasa tak enak, aku berbalik.
Ikannya berdiri.
Makhluk itu lebih tepat mirip seekor ikan raja <coelacanth, http://en.wikipedia.org/wiki/Coelacanth</ref>,
persilangan ikan dengan kadal, tapi yang ini lebih cenderung ke sisi
kadal. Ia berdiri di sana di rerumputan dengan enam kaki kuatnya dan
memandnag ke bawah padaku, sedangkan air di tubuhnya jatuh bagai air
terjun.
Aku berkata “memandang ke bawah” karena ini setidaknya setinggi 2
meter. Mulutnya yang tampak bisa menelan sapi bulat-bulat, berada
sedikit di atas kepalaku dengan kaki kadal yang biasa kukenal terjulur
keluar.
Dari kedua sisi makhluk berkepala ikan purba, dua mata seukuran
bola basket bertemu dengan milikku. Sehbuah kursor kuning muncul secara
otomatis untuk menandainyas ebagai monster.
Nishida sudah bilang pada kami bahwa dewa setempat dari danau ini
adalah seekor monster dengan rasa beda dari yang berada di
padang-padang.
Bagaimana ini berbeda? Si ini adalah seekor monster dalam tiap huruf kata-kata.
Aku memaksakan tersenyum dan mengambil beberapa langkah mundur.
Lalu aku berbalik dan segera terbirit-birit. Ikan raksasa dibelakangku
meraung menggelegar dan mulai mengikutiku dengan langkah yang
menggetarkan bumi.
Aku memaksa stat deksteritasku hingga batas dan berlari seakan
aku terbang. Aku mencapai Asuna dalam beberapa detik dan mengeluh
keras-keras :
“I-itu curang! Kabur sendirian!!”
“Uwa.ini bukan saatnya mengatakan itu Kirito!!”
Aku berbalik dan melihat ikan raksasa berlari menuju kami dengan kecepatan yang mengagumkan meski ukurannya besar.
“Ooh, ia berlari di darat...jadi ini dipnoan...? [3]
“Kirito-san, ini bukan saatnya mengatakan hal tak guna semacam itu!! kita harus kabur cepat-cepat!!”
Kali ini Nishida yang berteriak ketakutan. Lusinan penonton kaget
dengan keadaan, dan beberapa dari mereka terduduk di tanah dengan wajah
kosong.
“Kirito, apa kau membawa senjatamu?”
Kata Asuna sambil mendekatkan kepalanya ke sebelahku. Yah, bakal sulit untuk membuat semuanya kabur dalam situasi seperti ini---
“maaf, aku tak...”
“Oh, baiklah, Berarti Aku tak punya pilihan lain...”
Asuna menggelengkan kepala sambil berbalik menghadapi ikan
raksasa yang mendekati kami. Dia dengan cepat membolak-balik menu dengan
tangan nan ahli.
Dengan Nishida dan penonton lainnya menonton sambil terkejut,
Asuna melepas jubah dan syal dengan punggung menghadap kami. Rambut
coklat terangnya yang berkilauan oleh matahari menari liar di angin.
Meski dia hanya mengenakan rok panjang berwarna rumput dan kemeja
dari kain hemp, sebuah rapier bersinar di sisi kiri pinggangnya
bagaikan sebuah cermin. Dia menghunusnya dengan tangan kanan, dan pedang
itu mengeluarkan bunyi ring-ring bersamaan dengan menunggunya Asuna
untuk kedatangan ikan besar itu.
Nishida yang berdiri di sampingku, akhirnya tersadar dan menggoyangkan lenganku sambil berteriak:
“Kirito-san, I-istrimu dalam bahaya!!”
“Tidak, kita biarkan saja dia menangani ini.”
“Apa kau bilang!? ji-jika kau itu katamu maka aku...”
Dia menjambret sebuah pancingan dari temen yang terdekat dan
bersiap berlari ke Asuna dengan wajah ngeri. Aku harus cepat-cepat
menghentikan pemancing tua ini.
Ikan raksasa itu tak melambat sedikitpun. Ia membuka mulut
besarnya, dimana di sana berbaris gigi tajam yang tak terhitung, dan
melemparkan seluruh badannya pada Asuna seakan hendak menelannya
bulat-bulat.
Asuna memutar sisi kiri badannya menjauh dari ikan itu dengan
tangan kanan bergerak cepat keluar bersama sekilat cahaya putih di
belakangnya.
Sebuah kilatan bercahaya yang membutakan menyemburat dari mulut
ikan dengan efek suara ledakan. Ikan itu terlempar tinggi ke udara, tapi
Asuna bahkan belum bergerak dari tempatnya.
Meski ukuran besar monster itu menimbulkan rasa takut, aku telah
mengira levelnya tak mungkin begitu tinggi. Tak mungkin seekor monster
dari lantai bawah, terutama yang dari acara yang berhubungan dengan
memancing, bisa begitu kuat. Lagipula, SAO adalah permainan yang menjaga
pola normal permainan online.
Ikan itu jatuh ke tanah dengan keras, HP-nya berkurang drastis
oleh serangan Asuna. Lalu, Asuna dengan tanpa ampun melancarkan
rangkaian serangan beruntun yang menunjuukan gelarnya «Flash».
Nishida dan penonton lainnya menonton tanpa berkatah sepatah kata
pun pada Asuna yang mengaktifkan keahlian satu per satu sambil
melangkah ringan seakan tengah menari. Apa kecantikan Asuna atau
kekuatannya yang memesona mereka? Aku pikir mungkin keduanya.
Begitu Asuna mengayunkan pedangnya dengan aura yang menelan segala yang
berada di sekitarnya, dia melihat HP lawannya telah berada pada daerah
merah dan melompat kebelakang untuk memperlebar jarak di antara mereka.
Setelah mendarat, dia langsung maju menyerang. Dia berlari menuju ikan
itu sambil meninggalkan berkas cayaha di belakangnya bagai komet. ini
adalah salah satu keahlian tertinggi rapier «Flashing Penetrator».
Dengan efek suara yang mirip ledakan sonik, komet itu menembus
ikan dari mulut hingga ekor. Begitu Asuna mengerem untuk berhenti,
monster raksasa di belakangnya terpecah menjadi jutaan serpihan cahaya
yang tersebar. Ada suara benturan keras yang menciptakan riakan besar
di permukaan danau.
Asuna menyarungkan rapiernya dengan sebuah “cling” dan berjalan
pada kami seakan tak terjadi apa-apa. Nishida dan nelayan lainnya hanya
bisa membuka mulut menganga lebar, membeku di tempat.
“Hei, kerja bagus.”
“Ini tak adil, membuatku bertarung sendirian. Kau nanti akan membeli makan siang.”
“Uang kita sekarang berupa data bersama.” [4]
“Oh, benar...”
Selama Asuna dan aku meneruskan percakapan santai kami, Nishida akhirnya bisa mengejapkan mata dan membuka mulutnya.
“...ah, itu snagat mengejutkan... Nyonya, kau, kau benar-benar kuat. Ini mungkin tak sopan, tapi seberapa tinggi levelmu...?"
Asuna dan aku saling memandang. Berada di topik ini terlalu lama bakal berbahaya untuk kami.
“Se-sebelum itu, lihat, ikan itu menjatuhkan suatu item.”
Asuna memencet beberapa tombol di layar dan sebuah pancingan
perak muncuk di tangannya, Karena seekor monster acara yang
menjatuhkannya, sepertinya bisa dipastikan ini benda langka yang tak
dijual.
“Oh, ooh, ini...!?
Nishida menerima pancingan itu dengan mata berbinar. Seluruh
penonton juga tertarik. Tepat saat kupikir aku sudah berhasil melalui
bahaya ini dengan aman...
“Apa...apa kau Asuna dari Ksatria Darah...?”
Seorang pemain muda mengambil beberapa langkah mendekat dan menatapnya penuh intens. Lalu wajahnya mencerah.
“Yap, itu memang kau! Aku bahkan punya gambarnya!!”
“Ah..”
Asuna memaksakan dirinya tersenyum dan mengambil beberapa langkah mundur. Para penonton menggandakan kegairahan mereka.
“Ini, ini sebuah kehormatan! Untuk melihat Asuna san bertarung
dari dekat...Oh ya! Bisa-bisakah kau memberikanku sebuah tanda ta...”
Pemuda itu tiba-tiba berhenti berbicara lalu membolak-balik
pandangannya antara aku dan Asuna beberapa kali. Akhirnya dia
menggumamkan sesuatu dengan wajah terkejut:
“Apa...apa kalian berdua telah menikah...?”
Kini giliranku memaksakan diri untuk tersenyum. Bersamaan dengan
tersenyumnya kami yang dibuat-buat sambil berdiri di tempat, teriakan
kemarahan meraung di sekitar kami, Hanya Nishida yang terus
mengejap-ngejapkan mata tanpa mengerti apa yang tengah berlangsung.
Bulan madu rahasia kami berakhir seperti ini hanya dalam dua
minggu. Tapi mungkin kami harus berpikir bahwa kami beruntung untuk
mengambil bagian dalam acara yang menyenangkan di akhir.
Malam itu, kami menerima sebuah pesan dari Heathcliff yang
meminta kami mengambil bagian dalam pertarungan melawan raja lantai 75.
Paginya.
Aku duduk di ujung kasur dan memandangi lantai sedangkan Asuna
yang selesai bersiap-siap, berjalan mendekat dengan sol besi bootnya
berclang dengan tanah.
“Hei, kau tak bisa terus begini.”
“Tapi ini baru dua minggu.”
Aku menjawab dengan sikap kekanak-kanakan dan menengadahkan
kepalaku. Tapi aku tak bisa membantah bahwa memandangi Asuna dalam
seragam Ksatria merah-putihnya untuk pertama kalinya dalam beberapa
waktu ini sangat menarik.
Karena kami meninggalkan guild untuk sementara, kami bisa saja
menolak permintaan ini. Tapi baris terakhir pesan, dimana “beberapa
orang sudah tewas,” mengganggu pikiran kami.
“Yah, kita sebaiknya pergi untuk setidaknya mendengar apa yang terjadi. Ayo, sudah waktunya!”
Begitu dia menepukku di punggung, akhirnya aku bangkit dengan
enggan dan membuka layar peralatan. Karena saat ini kami bukan bagian
dari guild, aku mengenakan jaket kulit hitam dan seset baju pelindung
minimalis, lalu menyimpan dua pedang di punggung dengan dua bilahnya
saling bersilangan. Beban berat di punggungku seperti mengeluhkan bahwa
mereka ditinggalkan di inventori selama beberapa lama. Dengan gerakan
cepat, aku menghunus mereka perlahan lalu menyarungkan mereka kembali;
sebuah suara logam tinggi dan jernih bergema di kamar.
“Yah, ini penampilan yang paling cocok bagimu.”
Asuna tersenyum dan memeluk lengan kananku. Aku melihat ke
belakang dan mengucapkan selamat tinggal pada rumah baru kami, yang akan
ditinggal jauh untuk beberapa lama.
“...Ayo kita cepat selesaikan ini lalu segera kembali.”
“Ya!”
Kami saling memandang dan menganggu. Kami membuka pintu dan melangkah keluar menuju udara menusuk musim dingin.
Di plaza gerbang lantai 24, kami menemukan Nishida menunggui kami
dengan sebatang pancingan di tangannya. Kami bilang kapan kami akan
pergi hanya kepadanya.
"Bisakah kita ngobrol sedikit?”
Aku mengguk pada permintaan Nishida, dan kami bertiga duduk
saling bersebelahan di sebuah bangku di plaza. Nishida mulai berbicara
perlahan sambil memandang ke atas pada lantai-lantai atas.
“Sebenarnya...hingga hari ini, cerita soal orang-orang yang
bertarung untuk menyelesaikan permaninan di lantai-lantai atas terdengar
seperti mereka dari dunia lain...Mungkin aku sudah menyerah untuk
berpikir meninggalkan tempat ini.”
Aku dan Asuna mendengarnya tanpa suara.
“Kupikir kau sudah tahu ini, tapi Industri TI berkembang hampir
tiap hari. AKu memulai karir ini sejak aku masih muda, jadi dulu aku
masih bisa mengikuti mereka. Tapi kini aku sudah keluar dari lapangan
itu selama dua tahun, dan aku tahu mungkin mustahil bagiku untuk
mengejarnya kembali saat ini. Karena aku tak tahu entah aku bisa
kembali ke pekerjaan lamaku atau tidak, atau apakah aku bakal
diperlakukan sebagai halangan dan dibuang, kupikir lebih baik bagiku
untuk memancing disini---"
Dia berhenti berbicara dan membentuk senyuman pada wajah tuanya yang
berkerut. Aku tak tahu apa yang harus kukatakakn. Sepertinya aku bahkan
tak bisa membayangkan apa saja yang hilang darinya saat dia terpenjara
dalam SAO.
“Aku juga---“
Asuna tiba-tiba mulai berbicara.
“Hingga setengah tahun lalu, aku juga memikirkan hal-hal seperti
itu dan menangis sendirian tiap malam. Hari demi hari berlalu disini,
dan semua: keluargaku, pergi ke kampus, dan semua yang berhubungan
dengan dunia nyata terasa runtuh. Aku selalu bermimpi tentang dunia lain
saat ku terlelap... Kupikir yang harus kulakukan hanyalah cepat-cepat
menjadi kuat, dan menyelesaikan permainan ini lebih cepat, dan
satu-satunya cara untuk itu adalah melatih keras keahlian senjataku.
Aku memandangi Asuna, terkejut. Meski aku tak pernah memerhatikan
orang lain sebelumnya...tapi aku tak pernah merasakan yang seperti ini
sama sekali selama kami berhubungan. Yah, ini bukanlah pertama kalinya
aku salah menebak kepribadian seseorang...
Asuna menyadari pandanganku dan tersenyum kecil sebelum melanjutkan.
“Tapi, suatu hari pada sekitar setengah tahun lalu, tepat setelah
aku berteleport ke kota di garis depan, aku melihat seseorang tidur di
rumput plaza. Dia terlihat seakan dia berlevel cukup tinggi, jadi aku
marah dan berkata, ‘Jika kau punya waktu untuk dihabiskan disini,
pergilah ke dalam dungeon dan clear lebih banyak...!”
Lalu dia menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa.
“Lalu orang itu secara tak terduga menjawab, ‘Ini musim terbaik
di Aincrad dan latar cuacanya juga sangat bagus. Sayang sekali bila
pergi kedalam dungeon pada hari seperti ini.’ Lau dia menunjuk ruang
disebelahnya dan berkata, ‘Mengapa kau tak tidur juga?’ Dia sangat tak
sopan.”
Asuna berhenti tersenyum; matanya menerawang, lalu dia melanjutkannya:
Tapi apa yang dikatakannya mengejutkanku, Aku menyadari bahwa
‘orang ini ternyata hidup dalam arti sebenarnya di dunia ini.’ Dia tak
memikirkan kehilangan hari di dunia nyata dan malah memusatkan diri pada
menjalani hari-hari dalam dunia ini. Aku menemukan bahwa ternyata ada
orang-orang seperti ini, jadi aku mengirimkan anggota guild lainnya
untuk pergi dan mencoba berbaring di sebelahnya... Karena anginnya
terasa sangat enak....kehangatannya tepat untuk tubuh, aku terlelap. Aku
tak bermimpi buruk saat itu. Kemungkinan karena ini pertama kalinya aku
mendapatkan tidur yang nyenyak sejak masuk dunia ini. Saat kuterbangun,
hari sudah siang, dan orang itu tengah memandangiku tak sabar. Orang
itu adalah dia...”
Begitu dia selesai, Asuna menggenggam tanganku erat. Aku merasa sangat malu. Aku agak-agak ingat hal semacam itu, tapi....
“Maaf Asuna...Aku tak bermaksud yang macam-macam; Aku hanya ingin tidur siang saja....”
“Aku tahu itu bahkan jika kau tak mengatakannya!”
Asuna mencibir, lalu dia kembali menghadap Nishida dengan senyum di wajah sebelum melanjutkan :
“Sejak hari itu...Aku terlelap sambil memikirkannya, dan
hasilnya, segala mimpi buruk menghilang. Aku menemukan dimana kota
tempat tinggalnya dan akan meluangkan waktu untuk sesekali
mengunjunginya...lalu aku mulai menunggu-nunggu datangnya esok...lalu
aku menyadari aku tengah jatuh cinta, aku sangat bahagia dan bersumpah
untuk menjaga rasa ini. Ini pertama kalinya aku berpikir datang ke
dunia ini adalah hal yang luar biasa...”
Asuna menundukkan kepala, menggosok mata dengan tangan bersarungnya, lalu mengambil napas dalam-dalam.
“Kirito adalah arti dibalik dua tahun hidupku disini. Dia juga
bukti aku hidup dan alasan untuk terus mencari hari esok. Aku telah
mengenakan NervGear dan datang ke dunia ini untuk menemuinya. Nishida
oji-san...mungkin bukan tempatku untuk mengatakan ini, tapi kupikir anda
telah meraih sesuatu dalam dunia ini. Tak diragukan lagi ini adalah
dunia virtual, dimana yang kita lihat dan sentuh adalah tiruan yang
tercipta dari data. Tapi bagi kita, hati kita ada dalam realita ini.
Jika itu nyata, maka segala sesuatu yang kita alami disini juga adalah
nyata.”
Nishida terus memejamkan mata dan mengangguk beberapa kali.
Matanya sembab dibelakang kacamatanya. Aku juga berusaha sebaik mungkin
untuk menahan airmataku.
Aku yang begitu, kupikir. Akulah yang terselamatkan saat aku tak
dapat menemukan untuk hidup, entah saat aku di dunia nyata maupun
setelah aku datang ke yang ini.
“...ya. Ya. kau benar...”
Nishida menerawangi langit lagi dan berkata.
“Apa yang kudengar disni juga adalah pengalaman tak ternilai.
Pernah menangkap ikan lima meter juga salah-satunya...sepertinya hidupku
disini tidak tak berarti, tidak tak berarti sama sekali.”
Nishida mengangguk sekali lalu bangkit.
“Ah, sepertinya aku telah menghabiskan waktu kalian terlalu
banyak. Aku sangat yakin orang-orang seperti kalian bertarung untuk
membebaskan kami, sehingga kita semua bisa kembali ke dunia nyata dalam
waktu dekat...Meski tiada yang bisa kulakukan untuk membantu, Aku
setidaknya bisa menyemangati dan mendukung kalian terus.”
Nishida memegang tangan kami dan bersalaman.
“Kami akan kembali. Mohon temani kami saat itu tiba.”
Aku berjanji dengan kelingkingku, dan Nishida mengangguk dengan senyum besar dengan air mata mengaliri wajahnya.
Kami bersalaman erat dengan Nishida lalu berjalan menuju gerbang
teleport. Begitu kamui memasuki bagian yang bersinar-sinar bagai ilusi,
Aku dan Asuna saling menatap lalu membuka mulut kami secara bersamaan.
“Berpindah—Grandum!”
Cahaya biru mulai menyelimuti pandangan kami, menghapus gambar Nishida, yang terus melambai pada kami.
Catatan Penerjemah dan Referensi
- oji-san: panggilan untuk bapak-bapak
- dexterity = kelincahan
- berdiri dengan 2 kaki. http://en.wikipedia.org/wiki/Dipnoans
- artinya, satu dompet