“Kelompok perintis dibantai---!?”
Kami disambut berita mengejutkan ini saat kami kembali ke mabes KoB di Grandum untuk kali pertama dalam dua minggu.
Kami tengah berada di salah satu lantai atas dari menara besi
yang berfungsi sebagai HQ, didalamnya ada ruang pertemuan dengan jendela
besar dimana kami terakhir kali berbicara dengan Heathcliff .
Heathcliff duduk di tengah meja besar berbentuk setengah lingkaran,
dalam jubah panjangnya yang biasa. Pemimpin guild lainnya duduk di
sampingnya, kecuali Godfree yang kali ini tak hadir. Heathcliff
menyatukan jemari tangan kurusnya di depan wajahnya dan mengangguk pelan
dengan muka masam nan dalam.
“Kejadiannya kemarin. Memetakan labirin lantai tujuh puluh lima
memakan waktu agak lama, tapi kami bisa menyelesaikannya tanpa korban.
Meski aku sudah mengira kami bakal mengalami masa sulit saat mengalahkan
Boss...”
Aku memang merasa bahwa hal seperti ini akan terjadi. Sebabnya
adalah, bahwa dari seluruh raja labirin, hanya lantai 25 dan 50 yang
luar biasa besar dan kuat, sehingga menyebabkan kerusakan besar bagi
kedua belah pihak yang bertarung.
Pertarungan dengan raksasa berkepala dua di lantai 25 secara
kasat mata menyapu habis prajurit elit dari «The Army», yang merupakan
sebab utama runtuhnya mereka sebagai organisasi. Saat monster berlengan
enam, yang terlihat seperti patung logam Buddha, melancarkan serangan
ganas selama pertarungan di lantai 50, banyak pemain yang ketakutan
sehingga berteleport menjauh tanpa izin dan hampir-hampir menyebabkan
garis depan runtuh, Jika bala bantuan datang sedikit lebih lambat saja,
kami akan menghadapi sapu habis lainnya. Faktanya, orang yang
mempertahankan garis sendirian selama pertarungan hingga bantuan datang
berada tepat di depanku. Jika sebuah raja yang sangat-sangat kuat
menanti dia di level 75, maka hampir bisa dipastikan raja ini sama.
“...jadi, aku mengirimkan kelompok perintis beranggotakan 20 orang, yang berasal dari 5 guild yang berbeda.”
Heathcliff melanjutkan dengan nada monoton. Karena matanya sedang
setengah terbuka, mustahil untuk menebak emosi di belakang mata
berwarna tembaganya.
“Mereka merintis dengan penuh perhatian. 10 dari mereka telah
tinggal di luar ruangan boss sebagai cadangan...Tapi saat 10 yang
pertama masuk dan mencapai pusat ruangan, gerbangnya menutup tepat
ketika sang raja muncul. Berdasarkan laporan 10 orang yang menunggu di
luar, pintu-pintu tetap menutup selama 5 menit, dan apapun yang mereka
lakukan, termasuk merusak kunci dan menghantam pintu, tak berefek.
Sampai dengan pintu akhirnya terbuka---“
Ujung mulut Heathcliff menegang, Dia memejamkan matanya sesaat lalu melanjutkan.
“Tiada orang di dalam ruangan. Si Raja dan kesepuluh orang telah
menghilang. Tiada tanda-tanda teleportasi. Mereka tak kembali...dan aku
mengirimkan seseorang untuk memeriksa daftar kematian di monumen logam
di dalam Benteng Besi Hitam untuk mengonfirmasi...”
Dia tak mengatakan bagian selanjutnya keras-keras dan hanya
menggelengkan kepalanya. Di sebelahku, Asuna menahan napas dan akhirnya
berhasil memaksa suara kecilnya keluar:
“10...orang...bagaimana ini terjadi...”
“Sebuah area anti-kristal...?”
Heathcliff mengangguk pelan pada pertanyaanku.
“Hanya itu penjelasannya. Berdasarkan laporan Asuna-kun, lantai
74 juga sama, jadi mungkin sekali bahwa mulai sekarang, tiap ruangan
boss akan memiliki area anti kristal.”
“Sial.”
Kutukku. Jika jalan kabur darurat tertutup, kemungkinan tewas
karena hal-hal tak terduga bakal meningkat tajam. Janganlah kita
menghasilkan korban---itu adalah tuntunan paling penting yang harus
diikuti selama menyelesaikan permainan ini. Tapi mustahil untuk
menyelesaikannya bila tak mengalahkan para raja...
“Ini semakin menjadi permainan kematian yang sesungguhnya...”
“Namun, kita tak bisa menyerah untuk menyelesaikan permainan karena hal ini...”
Heathcliff memejam matanya lalu berbicara dengan nada pelan tapi penuh hasrat:
“Sebagai tambahan dari area anti-kristal, ruangan itu juga
menutup jalan keluar begitu raja muncul. Karena hal ini, kami hanya bisa
menyerangnya dengan tim terbesar berupa pemain-pemain yang bisa kami
perintah dan koordinasi. Sebenarnya aku tak hendak memanggil kalian
berdua kembali, mengingat kalian baru saja menikah, tapi aku berharap
kalian dapat mengerti dilema kami.”
Aku menjawabnya dengan mengangkat lengan.
“Kami akan membantu. Tapi aku akan menempatkan keselamatan Asuna
sebagai prioritas tertinggiku. Jika keadaan berbahaya mucul, aku akan
memprioritaskannya sebelum yang lain.”
Heathcliff tersenyum dengan sikap yang paling tak disadari.
“Yang berharap melindungi yang lain berarti mampu mengeluarkan
kekuatan terhebat. Aku berharap pada pencapaianmu di medan tempur.
Serangan akan dimulai 3 jam lagi. 23 orang, termasuk kalian berdua,
diharapkan ikut. Kita akan bertemu di depan gerbang teleport di Collinia
pada lantai 75 pada jam 1. Semuanya, Bubar.”
Begitu dia selesai, paladin merah dan orang-orangnya bangkit serta meninggalkan ruangan.
“3 jam---Apa yang harus kita lakukan?”
Asuna menanyaiku sambil duduk –tak-tahu-bagaimana di bangku
logam. Aku hanya memandanginya dalam diam. Tubuhnya terselimuti seragam
tempur putih dengan hiasan merah, rambut panjang lembutnya, mata
coklatnya yang berkilauan—dia begitu cantik bagaikan permata tak
ternilai.
Saat dia menyadari aku terus menatapnya tanpa membelokkan pandanganku, pipi Asuna memerah dan bertanya dnegan senyum malu-malu:
“A....apa?”
Aku dengan enggan buka mulut:
“...Asuna...”
“Apa?”
“Mohon jangan marah dan dengarkan aku. Raja yang kita hadapi hari ini...bisakah kau tak ikut dan menunggu aku kembali disini ?”
Pertama-tama, Asuna menatapku, lalu menundukkan kepalanya dengan wajah muram dan berkata:
“...mengapa kau mengatakan ini...?”
“Meski Heathcliff berkata begitu, kita tak bisa mengira-ngira apa
yang akan terjadi di tempat dimana kristal tak bisa digunakan. Aku
benar-benar takut...saat aku memikirkannya...bahwa sesuatu akan terjadi
padamu...”
“Kau ingin aku menunggu di tempat aman sementara kau pergi ke tempat yang seberbahaya itu sendirian?”
Asuna bangkit dan berjalan menuju padaku dengan langkah tegap. Matanya berkobar dengan penuh hasrat.
“Jika aku melakukan itu dan kau tak kembali, maka aku akan bunuh
diri. Aku tak hanya akan kehilangan alasanku untuk terus hidup, aku juga
takkan pernah memaafkan diriku yang hanya menunggu disini. Jika kau
ingin kabur, maka kita akan kabur bersama. Jika itu yang mau kau
lakukan, maka aku setuju dengan itu.”
Dia selesai berbicara dan menyentuh bagian tengah dadaku dengan
jemari tangan kanannya. Matanya melembut dan sebuah senyum lembut muncul
di wajahnya.
“Tapi, kau tahu...semua yang ikut dalam pertempuran hari ini
ketakutan, dan mereka semua ingin kabur. Namun, meski takut, mereka
tetap setuju bergabung. Itu karena sang pemimpin dan Kirito...karena dua
orang terkuat di dunia ini memimpin mereka...itu pemikiranku...Aku tahu
kau tak suka memikul tanggung jawab. Tapi aku berharap kau mencobanya,
hanya kali ini saja, bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk
kita...supaya kita bisa kembali ke dunia nyata, jadi ktia bisa bertemu
lagi; Aku berharap kita bisa melakukan yang terbaik bersama-sama.”
Aku mengangkat tangan kananku dan menggenggam tangan Asuna dengan
lembut. Perasaan bahwa aku tak ingin kehilangan dia mengalir keluar
dari dasar hatiku.
“...Maaf...aku, jadi lemah untuk sesaat. Sebenarnya, aku ingin
sekali kita kabur saja. Aku tak ingin kau mati, dan aku juga tak mau.
Kita tak perlu...”
Aku menerawangi kedalam mata Asuna dan terus berbicara.
“Tak apa-apa bila kita tak bisa kembali ke dunia nyata...Aku
ingin terus hidup bersamamu di penginapan hutan itu. Kita
berdua...selamanya...”
Asuna mencengkram dadanya dengan tangannya yang lain. Dia
memejamkan mata dan bermuka masam, seakan hendak menahan sesuatu, lalu
sebuah desahan kecewa keluar dari bibirnya.
“Yah...ini benar-benar seperti mimpi...Akan bagus sekali jika
kita bisa melakukan itu...menghabiskan setiap hari
bersama-sama...selamanya...”
Dia berhenti disitu dan menggigit bibir seakan dia tengah
melepaskan mimpi yang takkan tercapai. Lalu dia membuka mata dan
memandang menengadah padaku dengan wajah serius.
“Kirito, apa kau pernah memikirkan tentang ini...? Tentang apa yang terjadi pada tubuh nyata kita saat ini?”
Aku tersentak dan terdiam oleh pertanyaan tak terduga ini. Ini
mungkin seseuatu yang ditanya-tanyakan tiap pemain. Tapi karena tiada
cara berhubungan dengan dunia luar, tiada guna memikirkannya. Meski
semuanya ketakutan, mereka juga menghindari menghadapi pertanyaan ini.
“Apa kau ingat? Orang itu...Pengenalan Kayaba Akihiko di awal
permainan. Dia berkata bahwa NerveGear memperbolehkan pemutusan
berjangka dua jam. Tapi alasannya adalah...”
“...Untuk memindahkan tubuh kita ke fasilitas kesehatan yang memadai...”
Asuna mengangguk ketika aku mengucapkan ini.
“Lalu beberapa hari kemudian, semuanya terputus selama kira-kira sejam, kan?”
Sesuatu seperti itu pasti terjadi. Aku telah melihat pada
peringatan pemutusan dan khawatir apakah NerveGear akan membunuhku atau
tidak dalam dua jam.
“Kupikir semuanya telah dipindahkan ke RS. Tak mungkin untuk
merawat seseorang yang koma dalam rumah biasa selama bertahun-tahun.
Lebih mungkin mereka memindahkan kita ke RS lalu menyambungkan kita
kembali...”
“...Ya, rasanya kau benar...”
“Jika tubuh kita hanya terbaring di kasur, bertahan hidup hanya
karena begitu banyak sambungan yang terpasang padanya...Aku pikir tubuh
kita takkan selamanya aman dalam keadaan tersebut.”
Aku tiba-tiba dilingkupi ketakutan bahwa tubuhku mulai menghilang. Aku memeluk Asuna untuk mengonfirmasi keberadaan kami.
“...Dengan kata lain...entah kita menyelesaikan permainan ini atau tidak...akan selalu ada batas waktu...”
“...Dan batas waktu ini berbeda untuk tiap orang,,,Karena
berbicara dengan «Sisi lain» adalah tabu, aku belum membicarakan ini
dengan orang lain...tapi kau berbeda. Aku...Aku ingin menghabiskan
seluruh hidupku di sisimu. Aku ingin berdua denganmu yang sebenarnya,
menikah yang sebenarnya denganmu, dan tumbuh tua bersama-sama.
Jadi...jadi...”
Dia tak bisa melanjutkan. Asuna mengubur wajahnya di dadaku dan
meneteskan air mata. Aku pelan-pelan mengelus punggungnya untuk
membantunya menyelesaikan kata-kata.
“jadi..kita tak punya pilihan selain bertarung saat ini...”
Ketakutanku tak benar-benar menghilang. Tapi bagaimana mungkin
aku menyerah sekarang saat Asuna melakukan yang terbaik untuk membuka
masa depan kami sambil berusaha begitu keras untuk menjaga dirinya agar
tak runtuh.
Tak apa-apa—Pasti semanya baik-baik saja. Selama kita bersama, pasti akan---
Aku mengeraskan lenganku dan memeluk Asuna kuat-kuat untuk menghilangkan perasaan muram yang mengancam untuk menguasaiku.