Tanpa sekalipun berhenti untuk menarik napas, Asuna dan aku berlari
ke safe zone yang ada di suatu tempat ditengah Labyrinth Area. Aku
merasa kalau kami sudah menjadi target monster beberapa kali selama
perjalanan. Tapi sejujurnya, kami sedang tidak dalam kondisi pikiran
yang cukup tenang untuk melawan mereka.
Kami menerjang masuk ke dalam ruangan besar yang yang dibuat
sebagai safe area dan duduk dilantai dengan punggung kami bersandar di
tembok. Setelah mengeluarkan napas yang panjang, kami melihat wajah satu
sama lain dan…
“…ha.”
Kami berdua mulai tertawa bersamaan. Jika kami memeriksa peta,
kami pasti akan segera tahu kalau boss itu tidak keluar dari ruangannya.
Tapi kami tidak berpikir sama sekali untuk berhenti dan memeriksanya.
“Ahahaha, ah—kita melarikan diri cepat sekali!”
Asuna tertawa dengan nada yang riang.
“Sudah lama sekali sejak aku berlari seperti kalau nyawaku
bergantung pada lariku. Yah, kau bahkan berlari lebih parah daripada
aku!”
“…”
Aku tidak bisa menyangkalnya. Asuna terus tertawa melihat wajah
cemberutku. Butuh usaha yang cukup banyak baginya untuk berhenti
tertawa; dan kemudian dia berkata,
“…itu, terlihat agak sulit.”
Kata Asuna, wajahnya menjadi serius.
“Ya. Kelihatannya dia hanya punya pedang besar sebagai senjatanya, tapi dia pasti punya suatu serangan spesial juga.”
“Kita harus mengirimkan banyak penyerang yang memiliki defense tinggi dan terus melakukan switching.”
“Kita mungkin membutuhkan sekitar sepuluh orang dengan perisai…
Yah, untuk saat ini kita hanya perlu terus menyerangnya dan melihat
bagaimana dia melawan.”
“Pe…risai.”
Asuna melihat kearahku sambil berpikir.
“A-ada apa?”
“Kau menyembunyikan sesuatu.”
“Apa maksudmu tiba-tiba berbicara begitu…?”
“Tapi ada yang aneh. Keuntungan terbesar dari menggunakan
one-handed swords adalah bisa memegang perisai di tangan lainnya. Tapi
aku belum pernah melihatmu memakainya sekalipun. Kalau aku, aku tidak
memakainya karena itu akan memperlambat kecepatan seranganku, dan
beberapa orang tidak memakainya karena mereka khawatir akan gaya mereka.
Tapi kau tidak termasuk diantara keduanya… Itu mencurigakan.”
Kata-katanya sangat tepat. Aku memiliki skill tersembunyi. Tapi aku tidak pernah memakainya sekalipun didepan orang lain.
Itu tidak hanya karena skill sangat penting untuk bisa bertahan
hidup, tapi juga karena kupikir itu akan membuatku terlihat lebih
mencolok jika ada yang mengetahuinya.
Tapi, jika dia yang mengetahuinya, kupikir itu akan baik-baik saja…
Aku membuka mulutku sambil memikirkan hal itu.
“Tidak apa, itu tidak penting. Lagi pula mencari tahu tentang skill orang lain itu agak tidak sopan.”
Dia hanya menertawakannya. Sekarang aku telah kehilangan
kesempatanku, aku hanya bisa menggumamkan beberapa kata di mulutku.
Lalu, mata Asuna melebar setelah memastikan jam.
“Ah, ini sudah jam tiga. Agak terlambat, tapi ayo makan siang.”
“Apa!?”
Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku.
“A-Apa itu buatan tangan!?”
Asuna tersenyum tanpa berkata apapun dan dengan cepat
memanipulasi menunya. Setelah menyingkirkan sarung tangannya, dia
mengeluarkan sebuah keranjang kecil. Ternyata ada satu hal yang pasti
menguntungkan jika ber-party dengannya—saat aku memikirkannya dengan
tidak sopan, Asuna tiba-tiba melotot kearahku.
“…ide buruk apa yang baru saja kau pikirkan?”
“Ti-tidak ada apa-apa. Daripada itu, ayo makan.”
Asuna cemberut, lalu dia mengambil dua bungkusan keluar dari
keranjang dan memberikan salah satunya padaku. Aku membuka bungkusan itu
dan menemukan sebuah sandwich bulat yang berisi banyak sayuran dan
daging giling. Aroma yang mirip seperti merica tercium dari sandwich
itu. Tiba-tiba aku merasa sangat lapar dan aku menggigitnya dengan
lahap.
“Ini…benar-benar enak…”
Aku menggigitnya dua, tiga kali sekaligus, dan mengungkapkan rasa
terima kasihku dengan tulus. Bentuknya terlihat seperti makanan Eropa,
seperti makanan yang disediakan di restoran NPC, tapi rasanya berbeda.
Sedikit rasa asam dan manis terasa seperti makanan fast food di jepang
yang sering kumakan hingga dua tahun yang lalu. Aku menggigit sandwich
besar itu dengan cepat, merasa seperti kalau aku akan menangis karena
rasa yang sudah lama tidak kurasakan ini.
Setelah menyelesaikan potongan terakhir dan meneguk teh yang diberikan Asuna padaku, aku akhirnya menghela napasku.
“Bagaimana kau bisa membuat rasa seperti ini…?”
“Itu adalah hasil dari latihan dan experiment selama satu tahun.
Aku membuatnya setelah menganalisa data rasa dari semuaaaaaaaaaa herb
yang ada. ini adalah glogwa seed, shuble leaf, dan calim water.”
Sambil mengatakannya, Asuna mengeluarkan dua botol kecil dari
keranjang, membuka salah satu dari mereka, dan memasukkan jari
telunjuknya kedalam. Jarinya keluar bersama dengan cairan yang tidak
bisa di deskripsikan yang lengket dan berwarna ungu. Lalu dia berkata,
“Buka mulutmu.”
Aku tidak tahu apa itu, tapi saat aku membuka mulutku karena
refleks, Asuna melemparkan cairan itu kedalam mulutku. Cairan itu masuk
kedalam mulutku dan rasanya mengejutkanku.
“…Ini mayonnaise!”
“Yang ini terbuat dari abilpa beans, sag leaves, dan uransipi bones.”
Bahan yang terakhir terdengar seperti bahan untuk sebuah penawar
racun, tapi sebelum aku sempat menanyakannya cairan lain masuk kedalam
mulutku. Rasanya lebih mengejutkanku dibanding yang sebelumnya. Ini
tidak salah lagi kecap asin. Aku sangat ketagihan hingga aku menarik
tangan Asuna dan memasukkan jarinya ke mulutku.
“Kya!!”
Dia berteriak dan menarik tangannya keluar sambil melotot kearahku. Tapi kemudian dia mulai tertawa melihat expresi wajahku.
“Itulah bagaimana aku bisa menciptakan rasa itu.”
“…itu luar biasa! Sempurna! Kau bisa mendapat banyak uang dengan ini!”
Sejujurnya, sandwich ini berasa lebih enak dibandingkan makanan dari daging Ragout Rabbit yang kumakan kemarin.
“Be-Benarkah?”
Asuna tersenyum malu.
“Tidak, lebih baik jangan dijual. Aku tidak bisa membiarkan bagianku menghilang.”
“Uwa, kau sangat rakus! …jika kau mau, aku akan membuatkannya lagi untukmu kapan-kapan.”
Dia mengatakan kalimat terakhir dengan pelan dan sedikit
bersandar di pundakku. Saat kesunyian memenuhi ruangan, aku bahkan
melupakan kalau ini ada di garis depan, tempat dimana kami bertarung
dengan mempertaruhkan nyawa kami.
Jika aku bisa memakan makanan seperti ini setiap hari, aku bisa
menguatkan tekatku dan pindah ke Salemburg…tepat disebelah rumah Asuna…
Tanpa sadar aku mulai berpikir seperti itu dan ketika aku akan
mengatakannya-.
Tiba-tiba, terdengar suara gemerincing dari armor yang
menunjukkan kedatangan grup player lain. Kami dengan cepat membuat jarak
diantara kami.
Aku melihat kearah ketua dari party yang terdiri dari enam orang
itu dan merilekskan pundakku. Dia adalah katana-wielder yang telah
kukenal paling lama di Aincrad.
“Oh, Kirito! Lama tak berjumpa!”
Aku berdiri dan menyapa orang tinggi yang berjalan kesini setelah mengenaliku.
“Kau masih hidup, Klein?”
“Mulutmu masih saja kasar seperti biasanya. Kenapa kau dari semua pemain solo bisa membuat par-ty…”
Mata si pemegang katana itu melebar ketika dia melihat Asuna, yang sudah berdiri setelah membereskan barang-barangnya.
“Ah-, …kalian mungkin sudah pernah bertemu beberapa kali selama
pertarungan melawan boss, tapi aku akan memperkenalkan kalian lagi. Pria
ini adalah Klein dari guild <Fuurinkazan>, dan ini Asuna dari
<Knights of the Blood>.”
Asuna mengangguk perlahan ketika aku memperkenalkannya, tapi
Klein hanya berdiri disana, dengan mata dan mulutnya yang terbuka lebar.
“Hey, katakan sesuatu. Apa kau sedang lag?”
Setelah aku menyikutnya dari samping, Klein akhirnya menutup mulutnya dan memperkenalkan dirinya sesopan mungkin.
“H-Hello!!!!! Aku adalah orang yang di-di-dipanggil Klein! Bujangan! Dua puluh empat tahun!”
Ketika Klein mengatakan sesuatu yang bodoh dalam kebingungannya,
aku menyikutnya lagi, dengan tenaga yang lebih kuat kali ini. Tapi
bahkan sebelum Klein selesai berbicara, anggota party nya sudah mendesak
dan mulai memperkenalkan diri mereka.
Mereka bilang semua anggota dari <Fuurinkazan> telah
mengenal satu sama lain bahkan sebelum SAO dimulai. Klein telah
melindungi dan membimbing mereka semua, tanpa kehilangan satupun
anggota, hingga mereka semua menjadi player yang mampu berada di garis
depan. Dia mampu menopang beban yang telah kuhindari karena takut dua
tahun yang lalu—dihari death game ini dimulai.
Mengabaikan kebencian terhadap diriku yang telah menempel dengan erat didalam hatiku, Aku mulai berbicara kepada Asuna,
“…yah, mereka bukan orang yang jahat, jika kau mengabaikan wajah jelek ketuanya.”
Kali ini, Klein menginjak kakiku sekeras yang dia bisa. Melihat
hal ini, Asuna mulai tertawa, tidak bisa menahan lebih lama lagi. Klein
tersenyum malu, tapi kemudian dia kembali sadar dan bertanya padaku
dengan suara yang terisi dengan niat membunuh.
“B-B-Bagaimana ini bisa terjadi Kirito!?”
Ketika aku berdiri disana tanpa jawaban dipikiranku, Asuna menjawabnya untukku dengan suara yang jelas:
“Senang bertemu denganmu. Aku memutuskan untuk membuat party dengannya selama beberapa waktu. Kuharap aku bisa akrab denganmu.”
Aku terkejut dengan apa yang kudengar. Ketika aku berpikir ‘Eh!?
Ini bukan hanya untuk hari ini!?’, Klein dan party nya membuat expresi
yang berganti-ganti antara kemarahan dan depresi.
Akhirnya, Klein melirik kearahku dengan penuh amarah dimatanya dan menggeram sambil menggertakkan giginya.
“Kirito, kau sialan…”
Aku menggoyangkan bahuku dan berpikir kalau ini akan sulit untuk keluar dari masalah. Lalu…
Suara langkah kaki terdengar dari pintu yang baru saja dilewati
oleh Fuurinkazan. Asuna menegang mendengar suara yang terdengar seragam,
lalu menarik tanganku dan berbisik.
“Kirito, itu <The Army>!”
Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah pintu masuk, dan
benar, unit yang bersenjata lengkap yang kami lihat di hutan terlihat
dalam pandanganku. Klein mengangkat tangannya dan membawa kelima
temannya mendekati tembok. Grup yang masuk kedalam ruangan ini, masih
dalam formasi berbaris dua, tetapi sudah tidak seteratur saat mereka
berada di hutan. Langkah kaku mereka berat, dan ekspresi dibalik helm
mereka terlihat lelah.
Mereka berhenti di tembok yang berlawanan dari kami di dalam safe
area. Pria yang berada didepan memberi perintah “Bubar,” sesaat sebelum
kesebelas orang lainnya terduduk di lantai. Pria itu kemudian berjalan
kearah kami tanpa melihat sekalipun kearah mereka.
Sekarang jika kulihat dengan jelas, equipment nya agak berbeda
dari yang lain. Armornya memiliki qualitas yang sangat tinggi, dan
sebuah lambang yang berbentuk Aincrad yang terukir didadanya—sesuatu
yang tidak dimiliki oleh kesebelas orang lainnya.
Dia berhenti didepan kami dan melepaskan helmnya. Dia agak tinggi
dan terlihat berumur tiga puluhan lebih. Dia memiliki wajah yang tajam,
rambut yang sangat pendek, sepasang mata tajam dibawah alisnya yang
tebal, dan mulut yang tertutup rapat. Dia melihat kearah kami semua
dengan matanya, dan mulai berbicara padaku yang berada paling depan
diantara kami.
“Aku adalah Letnan Kolonel Cobert dari Aincrad Liberation Army.”
Apa-apaan itu? <The Army> awalnya adalah nama yang
digunakan orang untuk mengejek mereka. Kapan itu menjadi nama resmi
mereka? dan <Letnan Kolonel>? Merasa jengkel, aku menjawab dengan
singkat:
“Kirito, Solo.”
Dia mengangguk dan bertanya dengan angkuh:
“Apa kau sudah memetakan area sekitar sini?”
“…ya. Aku telah memetakan seluruh jalan hingga ke ruangan boss.”
“Hmm. Kalau begitu kuharap kau akan memberikan map data nya kepada kami.”
Aku terkejut akan sikapnya. Tapi Klein, yang berada dibelakangku, sudah menjadi marah.
“Apa? Memberikannya padamu!? Kau sialan, apa kau tahu betapa sulitnya memetakan area!?”
Dia berteriak dengan suara serak. Peta-peta dari area yang belum
terjamah adalah informasi yang penting. Mereka juga bisa dijual kepada
para pemburu harta, yang mencari kotak harta yang masih terkunci, dengan
harga tinggi.
Ketika dia mendengar suara Klein, orang the army itu menaikan salah satu alisnya dan mengumumkan dengan keras.
“Kami bertarung untuk kebebasan para player seperti kalian.”
Dia memajukan dagunya kedepan dan melanjutkan.
“Itu adalah tugas kalian untuk bekerja sama dengan kami!”
-Kata angkuh sangat cocok untuk sikapnya itu. The Army bahkan sudah lebih dari setahun tidak berada di garis depan.
“Tunggu sebentar, bagaimana bisa kau…”
“Kau, kau brengsek…”
Asuna dan Klein, yang berdiri disampingku, keduanya melangkah
kedepan dengan suara yang penuh kemarahan. Aku melebarkan tanganku untuk
menghentikan mereka.
“Tidak apa-apa. Lagipula aku berniat untuk menyebarkannya saat kita kembali ke kota.”
“Hey, hey! Kau itu terlalu baik Kirito!”
“Aku tidak berencana untuk menjual petanya.”
Sambil mengatakan hal itu, aku membuka trade window dan
mengirimkan informasinya ke pria yang menyebut dirinya sebagai
Lieutenant Colonel Cobert. Dia mengambilnya tanpa ada perubahan di
ekspresinya dan berkata:
“Terima kasih atas kerjasama mu.”
Dia menjawab dengan suara yang tidak menunjukkan rasa terima kasih sedikitpun, dan kemudian berbalik.
Aku berkata padanya sebelum dia pergi:
“Sedikit saran dariku, lebih baik kau tidak menyerang boss itu.”
Cobert melihat kebelakang.
“…itu hal yang harus kuputuskan sendiri.”
“Kami baru saja memeriksa ruang bossnya. Itu bukanlah sesuatu
yang bisa kau kalahkan hanya dengan orang sebanyak ini. Selain itu,
orang-orangmu juga semuanya terlihat agak lelah.”
“…Orang-orangku tidak selemah itu hingga bisa kelelahan oleh sesuatu seperti ini!”
Cobert menekankan kata "orang-orangku" saat dia menjawab dengan
jengkel. Tapi orang-orang yang duduk dilantai tidak terlihat setuju.
“Bangun kalian sampah tidak berguna!”
Mendengar perintah Cobert, mereka berdiri dengan terhuyung-huyung
dan membentuk dua baris. Cobert bahkan tidak melihat kearah kami ketika
dia kembali kedepan barisan dan memerintahkan dengan tangannya. Ke dua
belas orang itu kemudian mengangkat senjata mereka dan mulai berjalan
lagi, armor berat mereka mengeluarkan suara gemerincing.
Meski mereka masih memiliki 100% HP mereka diluarnya, pertarungan
yang berkelanjutan dalam SAO meninggalkan kelelahan yang tidak bisa
terlihat. Tubuh kami di dunia asli mungkin tidak bergerak sedikitpun,
tapi perasaan lelah masih akan menetap hingga kami tidur atau
beristirahat di sini. Berdasarkan apa yang kulihat, para player The
Army itu sudah kelelahan, karena mereka tidak terbiasa bertarung di
garis depan.
“…apa mereka akan baik-baik saja ya…”
Klein berbicara dengan suara khawatir ketika anggota The Army
menghilang kedalam jalan sempit yang menuju kearah lantai atas dan suara
langkah kaki mereka menghilang dari telinga kami. Dia benar-benar orang
yang baik.
“Mereka tidak begitu bodoh hingga mau menantang bossnya kan…?”
Asuna terlihat khawatir juga. Ada sesuatu didalam suara Cobert yang menunjukkan suatu kecerobohan.
“…apa kita harus memeriksa apa yang mereka lakukan…?”
Ketika aku berkata hal ini, bukan hanya Klein dan Asuna, tapi bahkan kelima anggota yang lain juga setuju.
…dan mereka bilang kalau aku terlalu baik…
Aku memikirkan hal ini dengan senyuman pahit. Tapi, aku sudah
membuat keputusan. Aku tidak akan bisa tidur malam ini jika kami
meninggalkan Labyrinth sekarang dan mendengar kalau mereka tidak kembali
dari sini.
Ketika aku dengan cepat memeriksa equipmentku dan mulai berjalan, sebuah suara memasuki telingaku-
Aku bisa mendengar kalau Klein berbisik ke Asuna dibelakangku.
Aku memikirkan apakah dia masih belum puas menerima sikutan dariku
ketika aku mendengar isi pembicaraan mereka yang mengejutkanku.
“Ah—Asuna-san, bagaimana mengatakannya yah…dia itu, Kirito,
tolong baik-baik lah terhadapnya. Bahkan jika dia tidak terlalu bagus
dalam menggunakan kata-katanya, tidak terlalu lucu, dan seorang penggila
bertarung yang bodoh.”
Aku menerjang mundur dan menarik bandana Klein sekeras yang aku bisa.
“A-apa yang kau bicarakan!?”
“T-Tapi.”
Si pemegang katana itu menarik kepalanya dan menggaruk jenggotnya.
“Itu cukup aneh jika kau membuat party dengan seseorang. Bahkan
jika kau jatuh cinta pada Asuna, itu adalah kemajuan yang sangat besar
untukmu. Makanya aku-”
“A-Aku tidak jatuh cinta padanya!”
Aku memprotesnya. Tapi entah kenapa, Klein, anggota partynya, dan
bahkan Asuna melihat kearahku dengan sebuah senyuman diwajah mereka.
Aku tidak bisa melakukan apapun kecuali diam, berbalik dan terus
berjalan.
Lalu aku mendengar Asuna menyatakan:
“Serahkan dia padaku!”
Aku berlari menuju jalan yang menuju ke lantai berikutnya sambil membuat suara berisik dengan sepatuku.